Laman

Gambar Lombe yang Damai

Kampung Lombe yang mayoritas mata pencaharian masyaratkatnya hidup dalam dunia jual-beli

Masjid Agung Keraton Buton

Inilah Icon Masyarakat Buton secara kesluruhan yang penuh dengan nilai-nilai religius dan bermartabat

Gambar Benteng Bombonawulu

Benteng inilah yang menjadi situs sejarah yang paling berharga bagi warga masyarakat Bombonawulu dan sekitarnya untuk dijadikan cagar budaya yang perlu dilestarikan dan dijaga

Gambar Benteng Keraton Buton

Benteng terluas didunia yang penuh dengan nilai-nilai filosofi dan berdedikasi tinggi sampai sekarang

Gambar Lawa salah satu situs dari desa Liya Togo

Lawa merupakan salah satu situs peninggalan sejarah yang berada lingkup kerajaan Liya Togo Kec. Wangi-Wangi Selatan yang masih dilestarikan sampai sekarang

Selasa, 07 Juli 2015

Kerajaan Muna Dalam Melawan Penjajah


Sejarah Awal Kerajaan Muna

Sebelum terbentuknya kerajaan Muna, di Muna telah terbentuk delapan kampung. Walaupun masih sangat sederhana, kedelapan kampung yang telah terbentuk mengikat diri dalam sebuah ‘Union’ dengan mengangkat Mieno Wamelai sebagai pemimpin tertinggi. . Kedelapan kampung itu kemudian dibagi menjadi dua wilayah utama yang terdiri atas 4 kampung. Empat kampung pertama dipimpin oleh kamokula, terdiri atas:
  1. Tongkuno,pemimpinya bergelar Kamokulano Tongkuno
  2. Barangka,pemimpinnya bergelar Kamokulano Barangka
  3. Lindo, pemimpinnya bergelar Kamokulano Lindo
  4. Wapepi, pemimpinnya bergelar Kamokulano Wapepi
Sedangkan empat kampung lainnya dipimpin oleh mieno yakni:
  1. Kaura, pemimpinnya bergelar Mieno Kaura
  2. Kansitala,pemimpinnya Mieno Kasintala
  3. Lembo,pemimpinnya bergelar Mieno Lembo
  4. Ndoke. Pemimpinnya bergelar Mieno Ndoke.

Terbentuknya Kerajaan Muna

Sejarah peradaban manusia di muna dimulai ketika Sawerigading dan pengikutnya yang berjumlah 40 orang terdampar di suatu daratan di Pulau Muna yang saat ini di kenal dengan nama ‘Bahutara’.
Sawerigading dan para pengikutnya, kemudian berbaur dengan penduduk yang telah dahulu menetap dan membentuk komunitas di Pulau Muna. Lama kelamaan komunitas itu berkembang. Sawerigading dan empat puluh pengkutnya di Daratan Muna telah membawa nuansa baru dalam pembangunan peradaban dalam kehidupan Orang Muna. Suatu waktu dipilihlah suatu pemimpin untuk memimpin komunitas itu. Pemimpin yang dipilih adalah yang dianggap sebagai primus intervares.

Sejarah kerajaan Muna dimulai setelah dilantiknya La Eli alias Baidhuldhamani gelar Bheteno ne Tombula sebagai Raja Muna pertama.

Setelah dilantiknya La Eli bergelar Bheteno Ne Tombula sebagai Raja Muna I, Kerajaan Muna baru dapat dikatakan sebagai sebuah kerajaan berdaulat karena telah memenuhi syarakat-syarat sebagai sebuah negara yaitu telah memiliki Rakyat, Wilayah dan Pemerintahan yang berdaulat dan seluruh perangkat masyarakat bersepakat untuk mengikat diri dalam sebuah pemerintahan dengan segala aturannya yang bernama Kerajaan Muna.

Masa Pemerintahan Sugi

Setelah pemerintahan Bheteno Ne Tombula berakhir, Kerajaan Muna dipimpin oleh Sugi. Sugi bagi masyarakat Muna berarti Yang Dipertuan atau Yang Mulia.
Sepanjang sejarah Kerajaan Muna ada lima orang Sugi yang perna memimpin Kerajaan muna. Mereka itu adalah Sugi Patola, Sugi Ambona, Sugi Patani, Sugi La Ende dan Sugi Manuru.
Dari kelima sugi yang pernah memimpin kerajaan muna, Sugi Manuru-lah yang dianggap berhasil membawa banyak perubahan di kerajaan muna dalam berbagai aspek.

Masa Pemerintahan Lakilaponto

Setelah masa pemerintahan sugi berakhir pemerintahan kerajaan muna dijalankan oleh Lakilaponto. Lakilaponto menjadi raja muna VII setelah menggantikan ayahandanya, Sugi Manuru sebagai raja muna. Selama menjadi raja muna, Lakilaponto terkenal akan keberaniannya. Pada masa pemerintahannya dibangunlah benteng mengelilingi ibu kota kerajaan muna, untuk menghalau dan menghadang ancaman serangan yang datang dari luar. Lakilaponto memerintah kerajaan muna selama kurang lebih 3 tahun (1517-1520) sebelum digantikan oleh adiknya sendiri, La Posasu.

Daftar Raja-Raja Muna

  1. La Eli alias Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula,alias Remang Rilangiq (Menjadi Raja Luwuk Purba sebagai Soloweta Raja = Raja Pengganti di Kerajaan Luwuk Purba Menggantikan Sawerigading (1371 – 1395).
  2. La Patola/ La Aka / Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola ( 1395 – 1420).
  3. La Mbona Gelar Sugi Ambona ( 1420 – 1455)
  4. La Patani gelar Sugi Patani ( 1455 – 1470)
  5. Sugi La Ende (1470-1501)
  6. Sugi Manuru gelar Omputo Mepasokino Adhati( 1501-1517)
  7. Lakilaponto Alias Murhum di Buton atau La Tolalaka di Kendari ( 1517 -1520), Menjadi Sultan Buton I dengan nama Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis (1520-1564)
  8. La Posasu gelar Kobangkuduno ( 1520-1551).
  9. Rampeisomba gelar Karawawono ( 1551-1600).
  10. Titakono ( 1600- 1625 )
  11. La Ode Sa’adudin ( 1625-1626 )
  12. La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-1667)
  13. Wa Ode Wakelu ( 1667-1668).
  14. La Ode Muh. Idris. (Soloweta Raja 1668-1671).
  15. La Ode Abd. Rahman gelar Sangia Latugho ( 1671-1716 )
  16. La Ode Husaini gelar Omputo Sangia ( 1716-1758, 1764-1767)
  17. La Ode Pontimasa Kapitalao Wolowa di Buton(Soloweta Raja)( 40 hari )
  18. La Ode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo (1758-1764 )
  19. La Ode Umara gelar Omputo Nigege
  20. La Ode Mursali gelar Sangia Gola
  21. La Ode Tumowu Kapitalao Lakologou di Buton (Soloweta Raja)
  22. La Ode Ngkumabusi (Soloweta Raja)
  23. La Ode Sumaeli gelar Omputo Nisombo
  24. La Ode Saete gelar Omputo Sorano Masigi ( 1816-1830 )
  25. La Ode Malei (Soloweta Raja)
  26. La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1861 )
  27. La Ode Ali gelar Sangia Rahia ( Soloweta Raja 1861-1864 )
  28. La Aka Alias Yaro Kapala (Bhonto Balano / Perdana Mentri Merangkap Raja Wuna 1864-1866)
  29. La Ode Ngkaili ( 1866-1906)
  30. La Ode Ahmad Maktubu gelar Omputo Milano we Kaleleha (1906 – 1914)
  31. La Ode Pulu (1914-1919)
  32. La Ode Safiu gelar Oputa Motembana Karoona / Oputa Moilana Yi Waara ( 1919-1922), Sultan Buton ke 36 (1922-1924)
  33. La Ode Rere gelar Omputo Aro Wuna (1926-1928 )
  34. La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 ). 1938-1947 terjadi Kekosongan kekuasaan di Kerajaan Muna
  35. La Ode Pandu gelar Omputo Milano te Kosundano ( 1947-1956)
  36. La Ode Sirad Imbo (Pelaksana Sementara) (2012-Sekarang)

Sejarah Perjuangan Menentang Penjajahan

Kerajaan Muna melakukan konfrontasi dengan Penjajah di mulai dengan keterlibatan Lakilaponto Raja Muna ke VII (1517-1520) menumpas Armada bajak laut Banggai Labolontio yang selalu menggangu keamanan kerajaan-kerajaan tetangga disekitarnya. selain itu, Lakilaponto juga Setelah Bertahta di Buton tahun (1520-1564) dan Mememeluk Islam yang dibawah oleh Syeid Abdul wahid dari Mekah ( Daulah Turky Usmani), dia berperan aktif menghalau Portugis di Tenggara Sulawesi, Banggai, selayar, Maluku, dan Solor NTT, sehingga Penjajahan Portugis tidak terlihat di Tenggara Sulawesi . Pada Masa Raja Wuna ke X La Titakono (1600-625) Kerajaan Muna menolak Campur tangan VOC di Buton karena dapat mengancam keutuhan dan persatuan Kesultanan Butuni Darusalam setalah mengetahui gelagat VOC di Buton. Namun pada akhirnya Sultan Buton tetap melakukan perjanjian Abadi tersebut pada tahun 1613 di bawah pimpinan Sultan Dayanu Iksanudin alias Laelangi. Dampak dari perjajian tersebut merenggangkan hubungan persaudaraan yang telah dibina oleh para pendahulu kedua kerajaan ini. Efek domino dari kerjasama tersebut Menimbulkan peperangan antara Muna dan Buton di Bawah pimpinan Raja Muna XII Sangia Kaendea (1626-1667). Mula-mula Kerajaan Muna memenangi Peperanga tersebut, namun setelah Buton mendapat bantuan dari VOC maka pasukan kerajaan Muna harus mundur. Selang beberapa waktu pasukan buton yang diperkuat oleh armada Kapal VOC berlabu di peraiaran pulau lima tepatnya di depan lohia. Pihak Bunton dan VOC mengirim utusan untuk menemui Raja Wuna dengan alasan perundingan perdamaian diantara kedua bela pihak. Mula-mula La Ode Ngakdiri/ Sangia Kaendea meragukan hal tersebut, namun karena terbujuk oleh alasan persaudaraan akhirnya iapun turut serta dalam melakukan perundingan itu. Sesampainya di pulau lima Raja Wuna tersebut tidak diajak untuk berunding seperti apa yang diberitahukan semula, dia ditangkap dengan tipu muslihat oleh Buton dan VOC dan diasingkan keternate, setelah beberapa lama kemudian Raja wuna tersebut diselamtkan kembali oleh Pihak kerajaan Muna dan kembali menduduki tahta Kerajaan Muna. Perlawanan Raja Muna berikutnya dilakukan oleh La Ode Saete (1816-1630) yang melakukan peperangan dengan pihak Belanda dan Buton sehingga banyak menghancurakan kapal-kapal Belanda dan Buton di Muna. selain itu Raja Muna tersebut mengorganisir semua kekuatan tempur yang ada dan melakukan perang semesta melawan penjajah sehingga dia mampu mempertahankan kerajaan Muna dari serangan musuh yang datang bertubi-tubi. Perjuangan Kerajaan Muna berikutnya dipelopori oleh La Ode Pulu (1914-1918), dia menentang keras perjanjian Korte Verklaring Tahun 1906 Antara Buton dan Belanda. Raja Muna mengagap perjanjian tersebut adalah Ilegal dan sepihak yang tidak sesui dengan Peraturan Adat di Muna sehingga dia melakukan perlawanan Rakyat secara gerilya dan banyak mematahkan serangan pasukan Belanda. Walau demikian dia akhirnya tetap terbunuh dalam peperangan tersebut karena minimnya jumlah persenjataan dan logistik perang. Hal tersebut menandai awal runtuhnya kedaulatan Kerajaan Muna dan makin kuatnya cengkaraman Belanda dan Buton di Muna. Walau demikian, para Raja-Raja Wuna berikutnya tetap Menolak Isi Perjanjian tersebut sehingga pergantian Raja-raja Muna berikutnya selalu tidak berlangsung lama. Perjuangan Rakyat Muna terus bergolak menentang penjajahan Belanda hingga akhirnya membentuk banyak laskar-laskar Rakyat dan beberapa Batalion tempur diantaranya Batalion Sadar yang merupakan embrio berdirinya KODAM WIRABUANA di Makssar dan Mendukung Kesepakatan Malino untuk bergabung dengan Pemerintahan Pusat di Jakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Artikel ini bersumber dari : https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Muna

Rabu, 01 Juli 2015

Liya Togo Dalam Bingkai Kesultanan Buton


- RIWAYAT SINGKAT SEJARAH LIYA TOGO

Artikel ini merupakan bagian dari pemanfaat media sosial untuk memperkenalkan berbagai situs sejarah masyarakat Liya Togo yang memiliki nilai-nilai dan budaya peninggalan masa lampau. Dengan segala permohonan maaf dan kerendahan hati  izinkanlah kepada pemilik artikel ini(OLEH : ALI HABIU) untuk sekiranya membantu mempublikasikannya sejarah singkat desa Liya Togo. Persoalan sosial budaya yang akhir-akhir ini muncul ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan Liya adalah adanya pameo bahwa Raja Liya atau Lakina Liya atau Mo'ori ULiya hanya dipegang oleh sekelompok orang atau golongan tertentu. Padahal menurut data sejarah yang diperoleh dari hasil pendataan,  mendapatkan bahwa Raja Liya yang memiliki gelar La Ode setelah La Djilabu terdapat 25  orang Raja dengan masing-masing marga keturunannya. Fakta-fakta ini masih dijumpai secara langsung di lapangan berupa adanya bekas peninggalan Kamali atau Istana dari Raja-Raja yang pernah berkuasa di Liya  diberbagai lokasi/dusun seperti terdapat di Bisitio, Kareke, Ewulaa, Laro Togo dan Woru. Hanya saja baik pemerintah daerah maupun para tokoh adat tidak mau memelihara atau membangkitkan atau mengembangkan/membangun kembali bekas Istana Raja Liya ini akibat dari kurangnya mereka mendapat informasi sejarah disamping adanya komunitas tertentu yang berupaya politisasi sosial budaya dalam lingkungan benteng keraton Liya.
Berdasarkan fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa sejak bangsa Jepang berkuasa di Indonesia mulai tahun 1942 sampai 1948 banyak rakyat yang sengsara akibat dilakukannya kerja paksa. Para Raja-raja yang berkuasa dizaman jepang ini mau tidak mau terpaksa harus mengikuti pola kerja paksa Jepang dalam memerintah masyarakatnya sehingga rakyatpun tidak ada sela setiap harinya sudah diberi lahan untuk melaksanakan kerja paksa dengan target waktu yang ditentukan. Tidak sedikit rakyat yang wafat dan bahkan cacat seumur hidup akibat dari pelaksanaan kerja paksa ini. Akibat dari kerja paksa ini rakyat terpaksa diperintahkan untuk mengambil batu dari pagar benteng (tondo) keraton Liya bagian atas atau keseluruhan. Akibatnya yang kita jumpai saat ini di lapangan tinggi benteng tinggal terdapat sisa rata-rata antara 1,00 sampai 1,50 meter dari  seharusnya tinggi aslinya  mencapai 3 ,00 meter.  Bahkan untuk Benteng Keraton pada lapisan kedua (zone dua) hampir secara keseluruhan telah punah karena material batuannya telah digunakan untuk bahan pondasi jalan.  Pada zaman Jepang ini yang berkuasa sebagai Raja Liya yang diperkirakan mulai dari tahun 1923 adalah La Ode Taru. Pada masa kepemimpinan La Ode Taru mengadakan perlawanan kepada  Romusa Jepang yang ditugaskan di Liya karena beliau tak tegah melihat kesengsaraan rakyatnya yang diperintah kerja paksa dan di siksa. Pada konteksi inilah cikal bakal Raja Liya La Ode Taru di bawa oleh tentara Jepang  ke Kendari untuk mendapat hukuman dan beliau wafat di Kendari di Kota lama.   Pada masa Romusa inilah terjadi kerja paksa di desa Liya atas desakan tentara Jepang dimana masyarakat setiap harinya tanpa kecuali di perintah untuk kerja paksa dan bagi yang tidak ikut akan diberi denda dan sanksi berat tanpa suatu keadilan berupa hukuman cambuk atau tidak diberi jatah makan.

Walaupun demikian kerusakan benteng tidak hanya terjadi pada masa masuknya Romusa tentara Jepang di Liya namun jauh-jauh hari sebelumnya sejak ditanda tanganinya Perjanjian Asyikin-Brughman Tahun 1902 tentang wajib pajak seluruh wilayah kesultanan buton, maka saat itupula secara sembarangan Benteng Liya, khususnya pada lapis ketiga (zone-3) batuannya telah diambil oleh petugas-petugas Belanda untuk dijadikan sebagai bahan pondasi pelabuhan, breack water dan lainnya, disamping sebagai bahan pagar/tondo kebun bagi masyarakat lokal. Dengan demikian saat ini hampir sebagian besar atau sekitar 2/3 bagian panjang Benteng Lapis ketiga (zona-3) ini telah punah. Data-data arkiologis di lapangan masih bisa diketemukan bekas-bekas Benteng lapis ketiga ini yakni dengan ditemukannya benteng-benteng atau baluara Patua dan mudah-mudahan Tim Balar Makassar akan segera mengungkap secara mendetail keberadaan Benteng Liya lapis ke tiga tersebut yang rencana akan aksi tahun 2013 mendatang.

Pada masa romusa tentara Jepang masuk ke Liya banyak mantan (yaro) Lakina Liya atau Raja Liya atau Mo'ori ULiya beserta keturunannya melarikan diri berhijrah menuju ke Ternate, Maluku, Seram, Ambon, Irian Barat dlsb karena merasa harga diri mereka sebagai bekas Raja terinjak-injak akibat dari perlakuan semena-mena bangsa Jepang pada saat itu. Dalam konteksi demikian ini maka secara polarisasi pamor kekuasaan para Raja Liya sebelum  masuknya eomusa ke Liya dari waktu kewaktu makin absurd dan hilang dari percaturan opini masyarakat Liya hingga terjadi pengkaburan nilai-nilai sejarah. Oleh Karena itu sudah saatnya tiba untuk meluruskan hegemoni konflik sosial budaya ini dan melalui wadah Badan Pengurus Pusat Lembaga Forum Komunikasi KabaLI Indonesia menghimbau kepada semua elemen masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh budaya untuk kembali ke khittah Raja Liya Pertama La Djilabu.

Oleh karena itu mengingat begitu kompleksnya permasalahan sosial budaya dalam lingkungan masyarakat Liya maka Badan Pengurus Pusat Lembaga Forum Komunikasi KabaLi Indonesia telah melapor ke Presiden Republik Indonesia, Menteri Kebudayaan dan Parawisata Republik Indonesia demikian juga ke Bupati Wakatobi untuk segera menganggarkan pembangunan proto tipe bangunan istana para raja-raja Liya yang pernah berkuasa untuk dibangunkan istana atau Kamali di bekas lokasi istananya yang telah punah yang sebagian besar tinggal tanah yang kosong disamping juga segera membangun Pusat Informasi Kebudayaan Liya yang berpusat di dalam keraton Liya.  Dalam kesempatan itu Bupati Wakatobi Hugua sangat antusias dan mendukung penuh program tersebut dan memerintahkan Lembaga KabaLi untuk mengusulkan anggaran dimaksud untuk segera dibangun Tahun Anggaran 2013.   Demikian juga Kementerian Kebudayaan dan Parawisata Republik Indonesia telah setuju untuk digulirkan dana Dekonsentrasi/DAK untuk membantu pembangunan ini melalui DIPA Dinas Kebudayaan dan Parawisata Provinsi Sulawesi Tenggara yang rencana akan digulirkan tahun 2013 mendatang.

Berdasarkan naskah Hikayat Negeri Buton (HNB) menyebutkan bahwa Sipanjonga pernah menjadi Raja di Liya. Demikian pula Prof. DR. La Niampe,M.Hum saat kami konfirmasi keberadaan Raja-raja di Liya masa lalu mengatakan bahwa Simalui pernah juga singgah di Liya untuk memerintah disana sebagai Raja Liya. Menurutnya berdasarkan naskah yang dimiliki dari negeri Belanda disebutkan  bahwa Benteng Liya dibangun akhir abad ke XI. Rachmad Hendiarto dalam beberapa tulisan lepasnya di media ini mengatakan bahwa keturunan Wangsa Rajasa pernah juga memerintah di Liya mulai sekitar abad XIII. Pembuktian etafak, artifak dan situs tentang keberadaan mereka masa lalu dapat di lihat dari spesifikasi struktur pasangan benteng Liya, model pintu-pintu Lawa, Baruga, Batanga, Yoni dan Lingga, Pohon sirikaya berpasangan dengan pohon delima, bunga cempaka, pohon beringin besar di kareke, model-model makam kuno. Selain itu beberapa tempat bernamakan khas seperti Untukoloro (bahasa jawa : untu loro, giginya dua), simpora (bahasa jawa : simpo ora, artinya orang dilarang bersujud atau menyembah), Tamba'a (bahasa sunda : air pengobatan/air keramat), melebaki (bahasa jawa : melek baki, membawa baki sambil mengolok-ngolok atau mengejek) dlsb. Menurut La Ode Muhammad Syarif Mukmin dalam bukunya "Sejarah Buton" dikatakan bahwa wilayah-wilayah kerajaan di lingkup wilayah toritorial kerajaan buton nanti baru masuk dalam wilayah kekuasaan toritorial raja buton setalah Raja Buton ke V yakni bernama Raja Mulae berkuasa mulai Tahun 1498 - 1538. Sebelum berkuasanya raja ini, wilayah kerajaan Liya berdiri sendiri dengan memiliki Raja dan kekuasaan sendiri.

Dengan melalui tugas mulia ini baik Badan Pengurus Pusat Lembaga Forkom KabaLi  Indonesia maupun Badan Pengurus Daerah Lembaga Forkom KabaLi Indonesia Kabupaten Wakatobi telah menyusun proposal pengusulan biaya tersebut sebagaimana arahan yang telah diperintahkan oleh Bupati Wakatobi  mengharapkan dalam waktu dekat ini proposal usulan biaya tersebut sudah dapat  disetujui oleh DPRD Wakatobi dan dimasukkan ke anggaran pemerintah daerah Wakatobi 2012/2013, juga diusulkan ke Dinas Kebudayaan dan Parawisata Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun Anggaran 2013 untuk pemugaran Kamali La Ode Taru di Woru. Demikian pula surat balasan dari Menteri Kebudayaan dan Parawisata Republik Indonesia telah mengirim balasan surat ditujukan kepada Ketua Umum Forum Komunikasi KabaLI Indonesia tentang persetujuan akan dibantu pendanaan sumber Dana Alokasi Khusus Kementerian Budpar untuk pembinaan Sanggar Seni Budaya KabaLI mulai awal tahun 2012/2013. Sedangkan status Benteng Keraton Liya sejak bulan Desember 2010 sudah dalam konsep untuk diusulkan menjadi Situs Nasional setelah terlebih dahulu diterbitkan situs provinsi oleh Gubernur Sulawesi Tenggara yang rencana dimulai awal tahun 2013 mendatang. Keterlambatan terbitnya situs daerah diakibatkan oleh lambatnya terobosan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Wakatobi karena sampai akhir tahun 2012 belum juga secara administratif mengusulkan benteng Liya sebagai situs daerah ditujukan kepada Gubernur Sulawesi Tenggara. Ini terjadi lebih dari persoalan SDM para aparatur dalam jajaran Dinas Kebudayaan dan Parawisata Kabupaten Wakatobi begitu rendah sehingga untuk membuat usulanpun dianggap begitu sulit dan rumit. Untung kendala ini sejak November 2012 segera diatasi oleh Kepala Seksi Cagar Budaya Dinas Kebudayaan dan Parawisata Provinsi Sulawesi Tenggara dan telah membuat usulan situs ke Gubernur yang baru-baru ini diajukan ke pemda sultra. Mudah-mudahan setelah terbitnya situs Benteng Liya sebagai Situs Daerah, akan segera ditindaklanjuti oleh terbitnya situs Benteng Liya sebagai Situs Nasional sekaligus dana pemugaran asal APBN dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa turun tahun 2013 mendatang.

Berkat kerja keras Lembaga Forum Komunikasi Kabali Indonesia untuk meminta dana bantuan seni budaya kabali ke pusat, maka tahun anggaran 2012 terbit DAK kementerian Kebudayaan dan Parawisata melalui Dinas Kebudayaan dan Parawisata Provinsi Sulawesi Tenggara dana sebesar Rp.1,78 Milyar. Namun sayangnya dana ini dicabik-cabik oleh kepentingan pemilihan gubernur tahun 2012 ini dengan membagi-bagikan melalui sanggar-sanggar seni budaya ke 12 daerah tingkat II dan besarnya biaya serta spesifikasi bantuanpun tidak sesuai yang diharapkan oleh kabali karena hanya mendapat bantuan berupa material peralatan seni budaya sekitar Rp.100 juta saja padahal secara administratif biaya ini adalah milik sanggar seni budaya kabali indonesia pusat Liya. Selama kurun waktu pemerintahan orde baru hingga saat ini belum pernah turun bantuan seni budaya sebesar itu, kecuali kali ini atas permintaan Lembaga Kabali Indonesia.


Susunan nama-nama Lakina Liya atau Meantu,u Liya atau Raja Liya mulai dari zaman Kerajaan sesudah wilayah kerajaan Liya masuk dalam wilayah toritorial Kerajaan Buton hingga zaman kesultanan Buton mulai tahun 1542 sampai 1952 (sumber : La Ode Harisi), sebagai berikut :
No.
Nama Raja Liya
Tahun Kekuasaan
Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
6
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
La Djilabu
Gara Gansa Tenda
La Buru
La Rampe
La Ode Ngka’ali
La Ode Maniumbe
Talo – Talo (Lakueru)
La Ode Banggala (Yaro Ahu)
La Ode Bunga Tondo (Yaro Watu)
La Ode Balobamba
Aama Wa Bunga
La Ode Ali
La Ode Hasani
La Ode Karuba
La Ode Kundarisi
La Odhe Yani
La Ode Kareke
La Ode Gonda
La Ode Ikirani
La Ode Romu
La Ode Umane
La Ode Daani
La Ode Nggole
La Ode Besi
La Ode Onde
La Ode Kaadim
La Ode Tindoi
La Ode Adi
La Ode Taru
La Ode Bosa
La Ode Bula
1542 - 1588
1588 – 1618
1618 – 1626
1626 – 1652
1652 – 1658
1658  --1674
1674 – 1694
1694 – 1703
1703  -  1712
1712  -  1724
1724  -  1732
1732  -  1750
1750  -  1755
1755  -- 1767
1767  -  1772
1772  -  1780
1780  -  1790
1790  -  1798
1798  -  1812
1812  - 1828
1828  -  1832
1832  - 1836
1836  -  1856
1856  -  1875
1875  -   1891
1891  -  1894
1894  - 1914
1914  -  1916
1916  -  1940
1940  - 1942
1942  -  1952
Asal Wolio
Asal Wolio
Asal Wolio
Asal Wolio
Asal Wolio
Asal Wolio
Asal Wolio
Sangia Gola
Asal Wolio
Asal Wolio
Menjadi Sapati Labunta
Asal Wolio
Asal Wolio

Berdasarkan data-data ini maka dapat disimpulkan bahwa yang berhak memiliki ulayat adat penuh adalah masing-masing semua keturunan dari para Raja Liya  yang berjumlah 31  orang tersebut tanpa kecuali.  Namun jangan lupa bahwa sejak tanggal 24 Juli 2012 Raja Liya telah dilantik kembali oleh Sultan Buton terpilih La Ode Muhammad Djafar yakni anak tertua dari Raja Liya terakhir La Ode Bula bernama La Ode Harisi. Sehingga praktis jumlah raja-raja di Liya hingga tahun 2012 ini sejumlah 32 orang.
Dengan demikian bila semua komponen bisa bersatu padu merapatkan barisan saling asah, asuh dan kasih insya allah suatu kelak akan membawa kemajuan peradaban kita  bagi kepentingan seluruh masyarakat Liya dikemudian hari. Pembangunan Kebudayaan Liya hanya bisa terwujud dengan paripurna jika semua elemen Mo'Ori U'Liya/Lakina Liya/Raja Liya bisa bersatu padu dalam sikap dan tindakan serta kerjasama sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Kedepan Badan Pengurus Pusat Lembaga Forum Komunikasi KabaLI Indonesia akan melakukan penelitian sejarah kerja sama dengan beberapa Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia, Direktorat Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Parawisata Republik Indonesia untuk mengungkap segala sesuatu yang belum jelas menjadi fakta sejarah budaya Liya.
 
Baca Selengkapnya......

Selasa, 30 Juni 2015

Sekilas Tentang Awal Kerajaan dan Kesultanan Butuni


-  SEJARAH AWAL

Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Kakawin Nagarakretagama. Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walaupun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.

- RAJA BUTON MASUK ISLAM

Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.
Sultan Buton ke 38, Muhamad Falihi Kaimuddin bersama Presiden RI Pertama Soekarno
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru dia yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:
  1. Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
  2. Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
  3. Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru dia yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.
Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538 Miladiyah.

Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), berarti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi karena masa dia telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktivitas Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahwa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate.
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam maupun sekular, terdapat perbedaan yang sangat kental dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Namun ajaran syariat tidak diabaikan.
Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.

Baca Selengkapnya,,
Artikel ini bersumber dari :  https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Buton

Sejarah Singkat Bombonawulu



Pernahkah anda tau cerita singkat sejarah Bombonawulu,,,, Marimi saya ceritakan tapi nanti kamuorang yang luruskan kalo ada kesalahanku mohon dimuklumi saja ee,, yang terpenting konee perbanyak bertanya pada orang-orang tua kampo karena mumpung mereka masih hidup sebagai referensi dasar ???? JANGAN lupa sediakan teh sama tuli-tulinya bagi lingkup Gulamasta supaya lebih enjoy jangan lupa panggil-panggil dengan teman-teman kamuorang supaya lebih bermanfaat dan saling berbagi. Katong mulai sudah jangan talalu lama-lama ada beberapa sumber menjelaskan bahwa sejak RAJA LA ODE RANDA SUASA , Bombonawulu sering mendapat serangan dari kerajaan lain . Para sumber menceritahkan bahwa mengantisipasi atas kejadian pada masa pemerintahan RAJA LA ODE RANDA SUASA, RAJA LA ODE MBALIWATA bersama SAHA sepakat membangun benteng pertahanan di DADU WALI kota Bombonawulu. Para sumber juga menjelaskan bahwa batu dasar peletakan benteng Bombonawulu adalah KONCU BULUGO yang berasal dari MALUKU (Tidore) sebanyak 40 buah. Adapun batu dasar tersebut didatangkan dari Maluku dengan menggunakan perahu (Bhangka Wangkuworio) oleh LA ODE HARMANI dan didaratkan di KONTAWU (pantai Lombe sekarang ini).

Para sumber menceritahkan bahwa batu dasar KONCU BULUGO dibawah dari KONTAWU ke DADU WALI kota BOMBONAWULU dengan cara masyarakat berjejer kemudian KONCU BULUGO diangkat dari tangan ke tangan, kemudian batu dasar tersebut disimpan di setiap pintu benteng (LAWA ) dan disetiap sudut DADU WALI. Para nara sumber juga menjelaskan bahwa benteng Bombonawulu memiliki 7 (tujuh) pintu atau 7 Lawa, namun setelah takluk dan berada dalam kesultanan buton pintu atau Lawa benteng Bombonawulu sebagian ditutup dan yang masih ada sampai sekarang tinggal 3 ( tiga ) pintu atau Lawa yakni : 1. Lawano Ombonowulu atau Lawano Wamelai, 2. Lawano Lakudo dan yang ke 3 Lawano Kaengkaci, sedangkan Lawano Kampebuni dan Lawano lainnya ditutup oleh SAHANO OMBONOWULU sebelum mereka meninggalkan DADU WALI kota Bombonawulu.


Kayakanya masih kurang dengan cerita diatas belaa,,,, masih ada tambah-tambahnya konee ??? asalo maafu kaasi ee terlalu banyak saya  cantumkan sumbernya belaa. kalu sudah habis tuli-tulinya jangan lupa ditambah sama pisang gorengnya supaya lebih panas-panas.. hehehehe Oky klau sudah selesai kita launjutkanmi tapi masih dalam topik yang sama dalam kaitanya dengan kerajaan buton di wolio RAJA VI LA KILAPONTO, para sumber menjelaskan bahwa LA KILAPONTO pernah menjadi RAJA Bombonawulu menggatikan RAJA LA ODE MBALIWATA..Sumber dari LA NIYLA bahwa awalnya LAKILAPONTO menjadi RAJA di Bombonawulu karena LA ODE MBALIBATA tidak memiliki keturunan sedangkan putra MAHKOTA dari ketutunan dari BHETENO NE WULU semuanya meninggalkan Bombonawulu sehingga terjadi kekosongan pengganti, mendengar berita tersebut RAJA LAKILAPONTO menawarkan diri untuk menjadi RAJA BOMBONAWULU, dimana saat itu RAJA LAKILAPONTO telah menjadi RAJA di kerajaan Buton. Sumber juga menceritahkan bahwa saat itu SAHANO OMBONOWULU tidak keberatan dengan tawaran LA KILAPONTO, karena LA KILAPONTO merupakan dari MUNA begituh juga dengan OMBONOWULU yang berasal dari MUNA dgn catatan bahwa setelah SAHA OMBONOWULU mengangkat Rajanya sendiri LA KILAPONTO harus melepaskan jabatannya sebagai RAJA OMBONOWULU, dan LAKILAPONTO menerima usulan SAHA OMBONIWULU tersebut dan untuk membantunya dalam menjalankan pemerintahan di BOMBONAWULU RAJA LAKILAPONTO mengangkat seorang BHONTO ( semacam perdana mentri ) mengingat LAKILAPONTO merupakan RAJA BUTON yang berkedudukan di Wolio. sumber menjelaskan bahwa setelah LA KILAPONTO menjadi RAJA OMBONOWULU, disitulah awalnya Bombonawulu berada dalam wilayah kesultanan Buton. sumber juga menceritahkan bahwa pada masa pemerintahan LA KILAPONTO ini di Bombonawulu kedatangan seorang ulama dari PADANG yg bernama SAYDINA KAMARUDIN atau lebih dikenal oleh orang Bombonawulu dgn sabutan HADI PADHA, menyiarkan agama Islam. Sumber juga menjelaskan bahwa perjalanan ulama HADI PADHA dari Sumatra sebelum tiba di Bombonawulu singgah di kraton Buton, namun di kraton Buton sudah ada Ulama SAYDINA RABBA yang duluan menyiarkan agama Islam, maka LAKILAPONTO menyuruh ulama HADI PADHA utk ke Bombonawulu , dimana saat itu di Bombonawulu masyarakatnya masih percaya dengan kepercayaan SANGIA atau DEWA _ DEWA. Sumber menceritahkan pula bahwa perbedaan masuknya agama Islam di Bombonawulu dengan Buton beda 1 (satu) tahun, ajaran yg diajarkan oleh HADI PADHA di Bombonawulu melalui mulut ke mulut tanpa teks dan penyebaran agama islam saat itu tidak berkembang pesat seperti perkembangan agama islam di Buton.
       
Selanjutnya yang di tulis Oleh "La Yusrie" dalam Blog-nya dengan alamat http://www.orang-gu.com/2014/11/tragedi-1967-di-benteng-kota-bombonawulu.html  bahwa - TAHUN 1967 adalah tahun yang kelam bagi seluruhnya orang-orang Bombonawulu. Dalam tahun yang naas itu keriuhan yang memantik kepanikan terjadi di dalam benteng Kota Bombonawulu, ada huru hara menegangkan yang menimbulkan keributan di sana. Setelah perintah peringatan diabaikan oleh warga, sepasukan tentara dari kodim 1413 Baubau Buton bergerak dengan sigap dan cepat, datang menyerbu memaksa warga benteng kota Bombonawulu untuk dengan segera keluar meninggalkan benteng dan turun tinggal mendekati pantai (kampung lombe sekarang)
Waktu itu pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan aneh yang disebut oleh mereka sebagai proyek restlemen desa atau penyatuan desa. Desa-desa di hutan pegunungan yang sepi diminta dipindahkan turun ke pantai yang desa-desa dan warganya lebih ramai. Tujuan proyek ini adalah untuk memudahkan akses pemerintah dalam melakukan sensus pendataan jumlah penduduk nasional.
Tetapi beberapa sumber lain memberi informasi berbeda bahwa serbuan tentara ke Benteng Kota Bombonawulu itu disebabkan oleh hal yang politis yaitu adanya tuduhan sebagai anggota PKI kepada beberapa tokoh warga di sana.  Maka penangkapan-penangkapan kepada yang dituduh itu dimulailah, dan dengan tanpa dahulu melalui sidang pengadilan mereka telah mendapatkan tudingan bersalah dan dihukum.
Maka masaker yang tragis kembali terulang, terjadilah itu tragedi, menghamparlah itu kekerasan oleh negara. warga benteng kota Bombonawulu menolak turun dipindahkan, apalagi disebut sebagai PKI. Terjadilah pemaksaan dengan kekasaran yang keras di bawah todongan senapan AK dan sepakan kaki berlaras pantovel yang keras dari para prajurit, ratusan orang diseret dengan kasar dipaksa pergi dengan cepat, turun meninggalkan Benteng Kota Bombonawulu.
Banyak dari warga Bombonawulu yang ngotot bertahan karena tak mau meninggalkan kampung yang di situ terdapat situs peninggalan moyang leluhur yang telah dihuni mereka dalam ratusan tahun lamanya itu, karena sikap menolak dan penentangannya itu, mereka mendapatkan kekerasan dari tentara. Dan sekuat-kuatnya dalam melawan dan bertahan, warga yang tak bersenjata itu tak mungkin bisa kuat melawan aparat bersenjata yang dengan angkuhnya datang melibas melindas mereka.
Karena kalah kuat dan takut kena tembak, perlahan warga mulai  kedodoran dan lalu kendur sebelum kemudian sebagian dari mereka memilih mengalah dan mundur. Tetapi ada sebagian dari merekapun yang kukuh bertahan, sekalipun kalah kuat dan terus ditodongi senapan bikinan Rusia itu mereka tak takut, tak pula surut nyali. Sampai tentara kemudian kehabisan kesabaran, yang kukuh bertahan itu diambil satu-satu dengan dipaksa dan dikasari.
Tanpa lagi memakai peringatan yang ngotot bertahan itu dilototi satu-satu lalu diangkut memakai truk tentara dipaksa pergi meninggalkan benteng kota Bombonawulu. Bahkan tak hanya orang-orang yang diangkuti memakai truk itu, aparat tentara juga membawa pergi patung-patung sesembahan peninggalan leluhur dan benda-benda pusaka warisan yang konon katanya dibuat memakai balutan emas murni sebagai material bahannya.
Betapa pedih memerihkannya mendapati diri diusir dengan kasar memakai kekerasan dari tanah leluhur moyang sendiri, bahkanpula tak cukup hanya dibegitukan, barang-barang berharga, pusaka tak ternilai peninggalan moyang leluhur diambil dibawa pergi dan kita hanya melihatnya dengan melongo tanpa ada daya untuk menghalangi dan mempertahankannya. Oh, sungguh memilukan dan itulah yang disebut sebagai sebenar-benarnya tragedi.